banner 728x250

Jabatan Pemimpin Adalah Amanat, Bukan Alat Kekuasaan

Avatar photo
banner 120x600
banner 468x60

Foto: Muhammad Aini (Redaksi, Mahasiswa UMALA)

 

banner 325x300

Oleh: Muhammad Aini,

Opini Redaksi

 

Dalam sistem demokrasi, jabatan seorang pemimpin bukanlah hadiah atau warisan yang bisa diwariskan seenaknya, melainkan amanat rakyat yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Setiap jabatan publik lahir dari kepercayaan masyarakat, bukan hasil pemberian sekelompok orang. Karena itu, seorang pemimpin seharusnya memahami bahwa jabatan bukanlah kekuasaan mutlak, tetapi beban moral untuk melayani.

Sayangnya, di banyak tempat, makna luhur kepemimpinan kian memudar. Kursi jabatan sering kali dijadikan simbol prestise dan alat untuk memperkuat pengaruh pribadi. Padahal rakyat menaruh harapan besar agar pemimpin hadir sebagai pengayom, bukan penguasa. Amanat yang seharusnya dijalankan dengan hati nurani, berubah menjadi kesempatan untuk memamerkan kekuasaan.

Padahal, dalam pandangan para pendiri bangsa, kekuasaan tidak pernah dimaknai sebagai alat dominasi. Bung Hatta pernah berpesan, “Kekuasaan yang tidak terbatas adalah godaan yang paling berbahaya bagi manusia.” Pesan itu sangat relevan hingga hari ini. Begitu seorang pemimpin merasa dirinya tak bisa disentuh, maka ia telah kehilangan arah moral sebagai pelayan rakyat.

Kekuasaan memang memikat. Tetapi kekuasaan tanpa kesadaran akan tanggung jawab hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan. Banyak contoh di lapangan menunjukkan bagaimana jabatan justru menjauhkan pemimpin dari rakyat. Begitu berkuasa, ruang dialog ditutup, kritik dianggap ancaman, dan kepentingan rakyat dikalahkan oleh kepentingan kelompok kecil.

Pemimpin sejati tidak lahir dari jabatan, melainkan dari pengabdian. Soekarno pernah menegaskan, “Pemimpin adalah mereka yang sanggup bekerja dan berkorban untuk rakyatnya, bukan yang hanya pandai berbicara.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa kepemimpinan sejati tak ditentukan oleh titel, melainkan oleh komitmen untuk berbuat nyata bagi masyarakat.

Rakyat memilih pemimpin karena percaya pada janji dan niat baiknya. Namun, ketika pemimpin justru memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri atau kroninya, kepercayaan itu pun runtuh. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi rakyat selain merasa dikhianati oleh orang yang dulu mereka dukung dengan tulus.

Kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling mampu menyejukkan dan menyatukan. Pemimpin yang hebat bukan yang ditakuti, melainkan yang dihormati karena keadilan dan kejujurannya. Ia hadir bukan untuk membungkam kritik, melainkan mendengar aspirasi. Ia tidak berlindung di balik kekuasaan, tetapi turun langsung menyentuh persoalan rakyatnya.

Dalam konteks pemerintahan daerah, hal ini sangat penting. Jabatan kepala dinas, bupati, atau wali kota bukanlah alat untuk menunjukkan superioritas. Jabatan itu adalah tanggung jawab untuk memastikan kebijakan dijalankan sesuai amanat konstitusi dan kebutuhan masyarakat. Ketika jabatan digunakan untuk menekan bawahan, menutup informasi publik, atau menyalahgunakan anggaran, maka nilai kepemimpinan berubah menjadi bentuk penguasaan.

Rakyat tidak menuntut pemimpin yang sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Namun rakyat berharap agar setiap pemimpin memiliki hati nurani dan kejujuran. Ketika pemimpin berani membuka diri terhadap kritik, transparan terhadap anggaran, dan konsisten menegakkan keadilan, di situlah makna jabatan sebagai amanat benar-benar hidup.

Kepemimpinan yang baik harus disertai kesadaran moral bahwa jabatan itu sementara. Hari ini seseorang bisa berkuasa, tetapi esok bisa digantikan. Kekuasaan datang dan pergi, tetapi nama baik dan rekam jejak akan terus dikenang. Karena itu, bijaklah menggunakan jabatan sebagai ladang ibadah, bukan alat memperkaya diri atau menebar ketakutan.

Seorang pemimpin tidak boleh lupa bahwa di balik jabatannya ada jutaan harapan rakyat. Ada ibu yang menunggu harga kebutuhan stabil, petani yang menanti pupuk terjangkau, guru yang menunggu perhatian, dan pemuda yang berharap lapangan kerja terbuka. Semua itu adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap jabatan publik.

Dalam setiap kebijakan, pemimpin harus menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Keputusan yang diambil harus berpihak pada keadilan, bukan pada kelompok atau kepentingan politik sesaat. Ketika kepemimpinan dijalankan dengan prinsip moral, maka jabatan menjadi sarana perubahan, bukan alat penindasan.

Rakyat adalah sumber kekuasaan tertinggi dalam demokrasi. Artinya, setiap pemimpin wajib mengingat bahwa kekuasaannya berasal dari rakyat dan harus dikembalikan untuk rakyat. Tanpa kesadaran ini, jabatan akan menjadi racun yang merusak integritas dan menghancurkan kepercayaan publik.

Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin yang menggunakan jabatannya untuk menindas, pada akhirnya akan jatuh oleh rakyat sendiri. Sebaliknya, pemimpin yang memimpin dengan hati akan selalu dikenang, bahkan setelah ia tak lagi menjabat. Sebab kepemimpinan sejati meninggalkan warisan moral, bukan sekadar kekuasaan.

Akhirnya, marilah kita mengingat pesan bijak Bung Karno: “Setinggi-tingginya kedudukan seseorang, ia tetap abdi dari rakyat dan harus merasakan derita rakyat.” Dari pesan inilah seharusnya setiap pemimpin belajar — bahwa jabatan adalah amanat suci yang harus dijaga, dijalankan, dan dipertanggungjawabkan, bukan alat untuk berkuasa tanpa batas.

 

 

banner 325x300